Original Artikel http://managedaily.co.id/column/index/category/human_resources/2549
By : Ruth Berliana
By : Ruth Berliana
Menghadapi si “Y generation"
Rabu, 05 Desember 2012 07.40 WIB
(Managedaily -
HR) - Saya baru saja menghadiri sebuah training yang diadakan bagi
mereka “fresh graduate” yang sedang memulai karirnya pada sebuah bank
swasta. Suatu pemandangan yang menarik saat melihat para peserta yang
begitu aktif. Anak-anak muda yang terlihat sangat menggebu-gebu. Suatu
fenomena baru yang saat ini memang sedang terjadi bagaimana hampir semua
peserta terlihat sangat aktif, kritis dan seakan-akan begitu lapar akan
pengetahuan. Mereka tidak canggung untuk bertanya bahkan saling
menyanggah. Berbeda dengan ketika saya mengikuti training saat saya
memulai karir saya selulus kuliah belasan tahun yang lalu. Selalu ada
sessi bertanya secara khusus di akhir sessi.Namun itu pun tidak membuat
peserta melontarkan banyak pertanyaan. Mungkin ada tetapi hanya satu
atau dua orang yang menonjol. Banyak yang bahkan menunda untuk bertanya
hingga acara usai. Suatu fenomena yang benar-benar berbeda antara
generasi saat ini dan belasan tahun yang lalu.
Y Generation
Mereka yang disebut generation Y adalah mereka yang lahir di antara tahun 1981 hingga 2000. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1993 untuk menggambarkan anak-anak remaja pada tahun itu yang kemudian dikatakan akan menjadi successor dari generation X pada 10 tahun kemudian. William Strauss dan Neil Howe, penulis buku The History of America’s Future, 1584 to 2069 menggambarkan generation Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga 2004. Mereka juga menjelaskan bahwa generation Y memiliki karakteristik yang dipengaruhi wilayah serta kondisi sosial dan ekonomi. Hal ini pada umumnya ditandai dengan adanya peningkatan penggunaan dan semakin familiarnya banyak orang terhadap komunikasi, media komunikasi, dan teknologi digital.
Beberapa ciri khusus yang dapat kita temui pada generasi ini adalah keinginan untuk bebas bersuara dan membuat pilihan. Ciri lainnya adalah interaktif, menghargai keterbukaan serta cenderung untuk membina hubungan di antara satu dengan yang lain.
Menghadapi si “Y Generation”
Suatu kejadian unik, kalau pada waktu yang lalu, jika seorang calon karyawan mendapat panggilan interview maka dengan bergegas ia akan tiba pagi hari dan menunggu sang interviewer tiba. Bila dikatakan supaya ia menunggu 2 atau 3 jam lagi oleh karena sang Interviewer sedang ada rapat mendadak, maka dengan sangat setia si pencari kerja ini akan menunggu. Namun kejadian sebaliknya dapat terjadi pada hari-hari ini. Si pencari kerja tiba pada waktu yang telah ditetapkan. Kemudian seseorang menemuinya dan mengatakan bahwa ia diminta menunggu satu jam lagi oleh karena sang Interviewer masih menghadiri rapat penting. Satu jam berlalu dan ketika sang interviewer mencari si calon karyawan, ia tidak menemuinya dengan alasan tidak sesuai dengan kesepakatan. Itulah si Y generation yang “berani” dan mempunyai sikap serta kepribadiannya sendiri.
Fenomena lainnya, pada waktu yang lampau bila kita mencari calon karyawan yang berpengalaman maka kita akan mencari mereka yang memiliki pengalaman kerja dengan bertahan cukup lama di suatu perusahaan bukan mereka yang sering kali pindah dari satu perusahaan kepada perusahaan yang lain. Bagi kita mereka yang selalu berpindah-pindah dalam waktu yang singkat sepertinya memiliki kebiasaan dan kepribadian yang negative. Namun bagaimana dengan sekarang ini? Bagaimana dengan si Y Generation? Kecenderungannya berbeda. Mereka akan selalu menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, mereka selalu ingin berkembang. Mereka ingin maju dan tidak statis. Sehingga mereka yang berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor yang lain dalam waktu yang tidak lama, belum tentu memiliki kredibilitas yang buruk, bahkan mungkin sebaliknya. Mereka selalu menginginkan perubahan kea rah yang lebih baik.
Lalu bagaimana menghadapi si Y generation? Managemen tidak lagi dapat bersikap kaku dan mempertahankan budaya lamanya jika masih ingin memperkerjakan para Y generation. Managemen haruslah bersikap fleksibel, jika tidak mereka akan kehilangan harta karun mereka, asset yang berharga yang kelak akan memajukan perusahaan tersebut. Managemen haruslah mulai memikirkan dengan memasang strategi bagaimana untuk mengakomodir ciri khas dari Y Generation ini yang selalu ingin bebas dan berkembang.
Mulailah untuk mengkaji ulang semua peraturan serta budaya yang ada. Dari beberapa perusahaan yang pernah saya temui, mereka mencoba mengubah peraturan yang kaku dengan hal-hal yang lebih flexible. Misalnya dengan memberlakukan flexi hours, flexi workplace, flexi benefit atau hal-hal flexible lainnya.
Flexi hours dapat diberlakukan bagi mereka yang tidak berada di depan berhadapan dengan klien pada bisnis jasa, seperti Bank Front Office, semua customer service atau semua posisi yang mengharuskan mereka bekerja pada waktu tertentu. Sesuai dengan peraturan pemerintah maka jumlah jam kerja pada satu minggu adalah 40 jam namun sesungguhnya tidak ditentukan apakah harus dimulai pukul 8 pagi atau lainnya sehingga managemen dapat memberlakukan flexi hours kepada karyawannya jika dibutuhan.
Flexi workplace dapat diberlakukan mengingat technology yang semakin canggih pada era ini yang dapat membuat banyak orang terhubung secara online dimanapun mereka berada. Flexi workplace dapat membuat management menghemat besarnya kantor yang harus mereka sewa oleh karena setiap pekerja dapat bekerja dalam waktu yang bersamaan dari tempat yang berbeda.
Flexi benefit. Salah satu contoh yang dapat saya berikan adalah mengenai jaminan kesehatan. Beberapa waktu yang lalu benefit ini merupakan sesuatu yang paling dicari oleh karyawan dimana mereka bisa menjadi tenang oleh karena kesehatan mereka dijamin. Tetapi saat ini, jaminan kesehatan bukan lagi yang prioritas. Bagi mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, mungkin hal ini tetap menjadi yang nomer satu, tetapi tidak bagi mereka yang masih single dan jarang bermasalah dengan kesehatan mereka. Adanya flexi benefit dapat memberikan kelonggaran bagi mereka yang tidak mau menggunakan benefit kesehatannya, misalnya mereka dapat menggunakan premi asuransi kesehatan mereka untuk menjadi anggota club olahraga atau club lainnya yang mereka minati. Atau mereka yang tidak menggunakan penggantian perawatan gigi mereka dapat menggunakannya untuk membeli gadget seharga yang sama atau lainnya. Hal ini tentu akan membuat daya tarik tersendiri bagi si Y generation.
Itulah sebabnya pihak managemen perlu mengadakan perubahan sehingga tidak lagi kaku dan dapat mengakomodir semua kebutuhan si Y generation.
(Ruth Berliana/IC/md)
Y Generation
Mereka yang disebut generation Y adalah mereka yang lahir di antara tahun 1981 hingga 2000. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1993 untuk menggambarkan anak-anak remaja pada tahun itu yang kemudian dikatakan akan menjadi successor dari generation X pada 10 tahun kemudian. William Strauss dan Neil Howe, penulis buku The History of America’s Future, 1584 to 2069 menggambarkan generation Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga 2004. Mereka juga menjelaskan bahwa generation Y memiliki karakteristik yang dipengaruhi wilayah serta kondisi sosial dan ekonomi. Hal ini pada umumnya ditandai dengan adanya peningkatan penggunaan dan semakin familiarnya banyak orang terhadap komunikasi, media komunikasi, dan teknologi digital.
Beberapa ciri khusus yang dapat kita temui pada generasi ini adalah keinginan untuk bebas bersuara dan membuat pilihan. Ciri lainnya adalah interaktif, menghargai keterbukaan serta cenderung untuk membina hubungan di antara satu dengan yang lain.
Menghadapi si “Y Generation”
Suatu kejadian unik, kalau pada waktu yang lalu, jika seorang calon karyawan mendapat panggilan interview maka dengan bergegas ia akan tiba pagi hari dan menunggu sang interviewer tiba. Bila dikatakan supaya ia menunggu 2 atau 3 jam lagi oleh karena sang Interviewer sedang ada rapat mendadak, maka dengan sangat setia si pencari kerja ini akan menunggu. Namun kejadian sebaliknya dapat terjadi pada hari-hari ini. Si pencari kerja tiba pada waktu yang telah ditetapkan. Kemudian seseorang menemuinya dan mengatakan bahwa ia diminta menunggu satu jam lagi oleh karena sang Interviewer masih menghadiri rapat penting. Satu jam berlalu dan ketika sang interviewer mencari si calon karyawan, ia tidak menemuinya dengan alasan tidak sesuai dengan kesepakatan. Itulah si Y generation yang “berani” dan mempunyai sikap serta kepribadiannya sendiri.
Fenomena lainnya, pada waktu yang lampau bila kita mencari calon karyawan yang berpengalaman maka kita akan mencari mereka yang memiliki pengalaman kerja dengan bertahan cukup lama di suatu perusahaan bukan mereka yang sering kali pindah dari satu perusahaan kepada perusahaan yang lain. Bagi kita mereka yang selalu berpindah-pindah dalam waktu yang singkat sepertinya memiliki kebiasaan dan kepribadian yang negative. Namun bagaimana dengan sekarang ini? Bagaimana dengan si Y Generation? Kecenderungannya berbeda. Mereka akan selalu menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, mereka selalu ingin berkembang. Mereka ingin maju dan tidak statis. Sehingga mereka yang berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor yang lain dalam waktu yang tidak lama, belum tentu memiliki kredibilitas yang buruk, bahkan mungkin sebaliknya. Mereka selalu menginginkan perubahan kea rah yang lebih baik.
Lalu bagaimana menghadapi si Y generation? Managemen tidak lagi dapat bersikap kaku dan mempertahankan budaya lamanya jika masih ingin memperkerjakan para Y generation. Managemen haruslah bersikap fleksibel, jika tidak mereka akan kehilangan harta karun mereka, asset yang berharga yang kelak akan memajukan perusahaan tersebut. Managemen haruslah mulai memikirkan dengan memasang strategi bagaimana untuk mengakomodir ciri khas dari Y Generation ini yang selalu ingin bebas dan berkembang.
Mulailah untuk mengkaji ulang semua peraturan serta budaya yang ada. Dari beberapa perusahaan yang pernah saya temui, mereka mencoba mengubah peraturan yang kaku dengan hal-hal yang lebih flexible. Misalnya dengan memberlakukan flexi hours, flexi workplace, flexi benefit atau hal-hal flexible lainnya.
Flexi hours dapat diberlakukan bagi mereka yang tidak berada di depan berhadapan dengan klien pada bisnis jasa, seperti Bank Front Office, semua customer service atau semua posisi yang mengharuskan mereka bekerja pada waktu tertentu. Sesuai dengan peraturan pemerintah maka jumlah jam kerja pada satu minggu adalah 40 jam namun sesungguhnya tidak ditentukan apakah harus dimulai pukul 8 pagi atau lainnya sehingga managemen dapat memberlakukan flexi hours kepada karyawannya jika dibutuhan.
Flexi workplace dapat diberlakukan mengingat technology yang semakin canggih pada era ini yang dapat membuat banyak orang terhubung secara online dimanapun mereka berada. Flexi workplace dapat membuat management menghemat besarnya kantor yang harus mereka sewa oleh karena setiap pekerja dapat bekerja dalam waktu yang bersamaan dari tempat yang berbeda.
Flexi benefit. Salah satu contoh yang dapat saya berikan adalah mengenai jaminan kesehatan. Beberapa waktu yang lalu benefit ini merupakan sesuatu yang paling dicari oleh karyawan dimana mereka bisa menjadi tenang oleh karena kesehatan mereka dijamin. Tetapi saat ini, jaminan kesehatan bukan lagi yang prioritas. Bagi mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, mungkin hal ini tetap menjadi yang nomer satu, tetapi tidak bagi mereka yang masih single dan jarang bermasalah dengan kesehatan mereka. Adanya flexi benefit dapat memberikan kelonggaran bagi mereka yang tidak mau menggunakan benefit kesehatannya, misalnya mereka dapat menggunakan premi asuransi kesehatan mereka untuk menjadi anggota club olahraga atau club lainnya yang mereka minati. Atau mereka yang tidak menggunakan penggantian perawatan gigi mereka dapat menggunakannya untuk membeli gadget seharga yang sama atau lainnya. Hal ini tentu akan membuat daya tarik tersendiri bagi si Y generation.
Itulah sebabnya pihak managemen perlu mengadakan perubahan sehingga tidak lagi kaku dan dapat mengakomodir semua kebutuhan si Y generation.
(Ruth Berliana/IC/md)
0 komentar:
Post a Comment
Thank you for your comment.